Selasa, 26 April 2011

Masih teringat dalam benakku saat pertama kali masuk ke SMA negeri masih di kotamadya yang sama dengan rumahku. Tempatnya di tersembunyi di dalam gang. Saat orientasi Mentoring agama islammenjadi hal baru untuk ku. Kami di kelompokkan menjadi beberapa kelompok. Satu kelompok bisa belasan orang saat itu. Saat itu aku tidak banyak peduli, dengan jumlah mentor yang sedikit, satu orang mentor satu kelas. Kenapa mereka berpakaian begitu berbeda (red: baju gamis/terusan dan berkrudung panjang), aku tidak begitu peduli. Yang ada di benakku saat itu hanya mengikuti yang di wajibkan dari sekolah.
Entah mengapa aku selalu ingin hadir dalam kegiatan itu. Seperti ada udara baru dalam diriku. Ya walaupun pasti ada aja beberapa waktu aku tak hadir dalam kegiatan itu.Dua tahun berlalu, dari belasan teman kelompok kami pun berkurang, menjadi hanya 4-5 orang. Setelah kami naik kelas dua beberapa pekan aku tidak hadir mentoring (entah karena saat itu jarkom sms tidak sampai pada ku atau memang tidak diadakan* lupa) tapi saat itu tiba-tiba aku ada ide untuk menghubungi mentor ku. Ku katakan padanya, “mba kapan kita mentoring lagi?”. Sepertinya saat itu aku merasa ada yang hilang dalam diriku (mungkin karena saat itu aku sibuk dengan karier PASKIBRA ku hehe..).  saat ada jawaban kamipun atur waktu untuk bertemu, dan aku mengajak beberapa teman sekelompokku yang sudah lama tidak kumpul. “kita mentoring yuk..” ajak ku. Saat itu jawaban mereka “ada janji”,”males”, “ngak ah..”. ya sudah, aku pergi sendiri ke tempat kami janjian, sebuah mall dekat sekolah kami. Kami makan di salah satu food court disana, “kita mentoring disi aja ya heheh” kata mentorku sambil tersenyum lebar. (*kangen jadi nya L).
Saat itu aku baru tau bahwa beberapa pekan tidak ada mentoring karena mentorku hendak pergi bekerja di Lampung. Dan ternyata itu hari terakhir aku bertemu dengannya.
“ya Allah ingin sekali aku Kau pertemukan kembali dengan mba Nella dalam keadaan yang baik..semoga Allah membalas lelah nya dalam menghadapi ke “nakalan kami”, semoga Allah mengalirkan segala kebaikan padanya karena tanpa ia sadari ilmu-ilmu yg ia berikan tertanam di otak ku dan menjadi salah satu referensi ku dalam beramal hingga saat ini.amien”

Sejak saat mentorku itu pergi, aku di tanyakan “kalau masih ingin mentoring di kelas 2 ada 2 kelompok mentoring lagi..anti mau yang mana?”. Saat itu aku bingung, tapi akhirnya aku putuskan memilih satu dari keduanya yang sebagian besar teman2 ku ada di sana J. Alhamdulillah, aku perlahan bisa menyesuaikan diri dengan kelompok tersebut, dan dari sana aku mulai menimba ilmu tentang islam kembali. Dan aku mulai menyebut kegiatan tersebut dengan liqo. (teman2 ku saat itu menyebutnya seperti itu, aku ikut saja dulu hehe..*cuekdotcom)
Ujian kelulusanpun tiba, aku sama seperti teman-teman yang lain seangkatan. Cemas, panik gitu..
Tapi di liqo di ingatkan kembali tentang hakikat hidup. So, tenang lagi...walau saat selesai liqo beberapa hari puyeng lagi. Yah namanya iman naik turun. Ckckck...
Alhamdulillah aku dan semua temen kelompok liqo ku lulus.
Allahuakbar.
Kita sebelum lulus sudah merancang ingin kemana setelah SMA. Lucunya mereka mayoritas mencari kuliah yang di jakarta ya paling jauh di depok.  Tapi aku..aku... hiks hiks...aku terpental jauh sendiri di Bandung.
Betapa sedihnya aku saat itu, membayangkan hidup di kampung orang. Tidak punya saudara, tidak ada teman. Ya..karena pengumuman itu ada, aku beristikharah. Dan ini adalah jawabannya ya bismillah. Aku di temani orang tua ku pergi ke bandung, ke Kampus Hijau ku* dulu masih banyak lahan kosong nya dan ada Hutan nya juga di belakang kampus.

“ya allah doa yang sama juga ku pinta dari Mu untuk mba Titi, dan buat anak-anaknya menjadi anak-anak yang sholeh/sholehah, sebagaimana ia telah menyempatkan waktunya membantu ku untuk jadi hambaMu yang baik dan seorang Anak yang Baik. amien”

Lalu, bagaimana nasib Liqo ku?






Puisi : Jejak Diri

saat pelangi di ujung senja
sungguh membuat diri tak terasa tertusuk baja
saat asa mulai bertanya
akan kah jiwa menjadi insan bertaqwa

sudah cukup angin berhembus
menggoncang pohon besar nan kokoh menjulang
bilakah nafas tak berhembus
saat anggan tanpa sadar menghilang

detik akan kah hilang ditelan menit
sepi akankah hilang terpotong parit
tidak sepertinya tidak
karena jiwa akan rindu untuk bergerak

wahai diri hendak kemana kau pergi
mencari dunia yang tak pasti
atau kembali ke kehidupan yang sejati
bernaung di bawah cahaya ilahi

oleh ratri

Kamis, 14 April 2011

Takahashi, 5 Menit Menuju ke Surga

Kuringgu… kuringgu …. kuringgu!!! (kring …kring …kring..). Suara telepon rumah Muhammad berbunyi nyaring.
Muhammad: Mosi mosi? (Hallo?)
Takahashi: Mosi mosi, Muhammad san imasuka ? (Apakah ada Muhammad?)
Muhammad: Haik, watashi ha Muhammad des. (Iya saya).
Takahashi: Watashi ha isuramu kyo wo benkyou sitai desuga, osiete moraemasenka? (Saya ingin belajar agama Islam, dapatkah Anda mengajarkan kepada saya?)
Muhammad: Hai, mochiron. (ya, sudah tentu.)
Percakapan pendek ini kemudian berlanjut menjadi pertemuan rutin yang dijadwalkan oleh dua manusia ini untuk belajar dan mengajar agama Islam.
Setelah beberapa bulan bersyahadat, Takahashi kian akrab dengan keluarga Muhammad. Dia mulai menghindari makanan haram menurut hukum Islam.
Memilih dengan hati-hati dan baik, mana yang boleh di makan dan mana yang tidak boleh dimakan merupakan kelebihannya. Terkadang tidak sedikit, keluarga Muhammad pun mendapatkan informasi makanan-makanan yang halal dan haram dari Takahashi.
Pizza wo tabenaide kudasai. cheese ni ra-do wo mazeterukara.. (Jangan makan pizza walau pun itu adalah cheese, karena di dalamnya ada lard, lemak babi)”, nasihatnya di suatu hari. Takahashi mengetahui informasi semacam ini karena memang kebiasaan tidak membeli pizza, atau makanan produk warung di Jepang memang sudah terpelihara sebelumnya di keluarga Muhammad.
Toko kecil makanan halal milik keluarga Muhammad, menjadi tumpuan Takahashi dalam mendapatkan daging halal. Suatu ketika Takahashi ingin makan daging ayam kesukaannya, tapi dia ngeri kalau melihat daging ayam bulat (whole) mentah yang ada di plastik, dan tidak berani untuk memotongnya. Dengan senang hati, Muhammad memotong ayam itu untuk Takahashi. Dia potong bagian pahanya, sayapnya, dan badannya menjadi beberapa bagian.
Setiap pekan, Takahashi terkadang memesan sosis halal untuk lauk, bekal makan siang di kantor. Setiap pagi ibunya selalu menyediakan menu khusus (baca: halal) untuk pergi ke kantor tempat dia bekerja. Sebagai ukuran muallaf Jepang yang dibesarkan di negeri Sakura, luar biasa kehati-hatian Takahashi dalam memilih makanan yang halal dan baik. Terkadang Muhammad harus belajar dari Takahashi tentang keimanan yang dia terapkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Pernah dalam suatu percakapan tentang suasana kerja, Takahashi menggambarkan bagaimana terkadang sulitnya menjauhi budaya minuman sake di lingkungan tempat kerjanya. Di Jepang, suasana keakraban hubungan antara atasan dan bawahan atau teman bekerja memang ditunjukkan dengan saling memberikan minuman sake ke gelas masing-masing.
Dalam kondisi hidup ber-Islam yang sulit, Takahashi ternyata terus melakukan dakwah kepada ibunya. Beberapa bulan kemudian akhirnya ibunya pun menjadi muallaf dengan nama Qonita, nama pilihan Takahashi sendiri buat ibu yang dia cintainya. Sampai saat ini, bagaimana dia mendapatkan nama itu, tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali Takahashi.
Beberapa bulan berlalu, pertemuan kecil-kecilan berlangsung …terlontar dari mulutnya suatu kalimat.
Watashi ha kekkon simasu (Saya mau menikah)….”, ujarnya.
Dengan proses yang panjang, akhirnya dia mendapatkan jodohnya, wanita Jepang yang cantik, yang dia Islamkan sebelumnya. Setahun kemudian, suatu hari Takahashi datang ke rumah Muhammad dengan istrinya yang berkerudung, ikut serta juga buah hati mereka yang telah hadir di dunia ini.
Pada suatu hari, iseng-iseng Muhammad bertanya kepada Takahashi, “Apa yang menyebabkan Takahashi lebih tertarik dengan Islam?”
“Sebenarnya saya belajar juga Kristen, Budha dan Todoku (Agama moral) selain Islam,” Takahashi menjelaskan.
“Masih ingat dengan telepon kita dulu? Waktu pertama kali aku telepon ke Muhammad beberapa bulan dulu”, sambungnya.
“Iya ingat sekali”, jawab Muhammad.
“Kita waktu itu membuat perjanjian untuk bertemu di suatu tempat bukan?”, tanya Takahashi.
“Iya benar sekali”, sambung Muhammad lagi sambil mengingat-ingat kejadian saat itu.
“Saya sungguh ingin mantap dengan Islam, karena Muhammad datang 5 menit lebih dulu dari pada waktu yang kita janjikan, dan Muhammad datang terlebih dahulu dari pada aku. Muhammad pun menungguku waktu itu”, jawab Takahashi beruntun.
“Karena itu aku yakin, aku akan bersama dengan orang-orang  yang akan memberikan kebaikan”, sambungnya lagi.
Jawaban Takahashi membuat Muhammad tertegun, Astaghfirullah sudah berapa kali menit-menitku terbuang percuma, gumam Muhammad.
Begitu besar makna waktu 5 menit saat itu untuk sebuah hidayah dari Allah SWT. Subhanallah, 5 menit selalu kita lalui dengan hal yang sama, akan tetapi 5 menit waktu itu sungguh sangat berharga sekali bagi Takahashi.
Bagaimana dengan 5 menit yang terlewat barusan, milik Anda? []






Soure : http://pk-sejahtera.nl/Tulisan Muhammad Yusuf Effendi di Dakwatuna/
sumber foto : http://yuki2509.blogspot.com

Rabu, 06 April 2011

generasi oh generasi part 2


Regenerasi memang harusnya menjadi konsep yang mendasar dalam sebuah pergerakan yang berkesinambungan. Sungguh teramat sayang dulu ada seorang Soedirman, R.A Kartini namun saat mereka gugur, tidak ada penggantinya yang langsung siap melanjutkan perjuangan mereka. Perlu proses panjang kembali untuk menghasilkan Soedirman dan Kartini yang baru kembali.

Fenomena inipun terjadi, “banyak kader, sedikit yang mengkader”. Sepertinya terbukti dengan sulitnya menemukan kelompok halaqoh di tengah puluhan bahkan ratusan kader. Menurut ustazah Dyana, “ada unsur keduanya, mutarobbi dan murrabinya. Karena penerimaan setiap mutarrobi berbeda dan cara membina murrobinya pun harus di buat beda..”. Kembali lulusan Bimbingan dan Penyiaran Islam inipun berkata, “murrobi harus mengenal mad’unya, kenapa belum mau membina..dan segera di carikan solusinya, yang merasa kurang ilmu adakan tambahan materi-materi, yang kurang PD adakan dauroh khusus calon murrobi...”.

 “Regenerasi itu suatu proses yang pahalanya terus mengalir sampai akhir hayat bahkan hidup pada dua dunia (jasad masih di bumi, jiwa sudah di alam barzah) “ , ujar dosen Agama Islam di Politeknik Telkom ini. Memang, da’wah hendaknya menjadi sesuatu yang secara estafet semakin besar,bukan sebaliknya. Ia bergulir dari generasi ke generasi. Hingga regenerasi da’wah ini menjadi suatu keniscayaan.

Bagi semua kader yang belum membina beliau berujar “...ini pahalanya terus menerus, setiap kebaikan yang kita sampaikan lalu mad’u kita lakukkan pahalanya juga kita dapatkan tanpa mengurangi pahala yang mengamalkannya...” ,dan  “ bagi yang takut kaburomaktan , karena itu kita harus sisipkan rasa harap di sini..sama-sama belajar menjadi lebih baik bersama mad’unya..”, tambah beliau. Yah, kita semua sedang belajar menjadi lebih baik dan lebih baik, hingga kita tidak boleh merasa cepat puas dengan segala amal yang kita lakukkan, karena Allah perintahkan kita fastabiqul khairat. Lakukkan amal sebanyak-banyaknya yang kecil ataupun yang besar, karena kita tidak adakan tahu amal kita yang mana yang akan membawa kita di syurgaNya. 

Wallahualam.

info: Salah satu program unggulan 2011 adalah Peningkatan kualitas dan rekruitmen 120.000 kader baru.( Dikutip dari leaflet MUKERWIL 2011 JAWA BARAT,bandung 26-27 maret 2011)

Oleh ratri_dewi (25)


Selasa, 05 April 2011

media oh media

Media Oh media sungguh luar biasa. Tak bisa dipungkiri televisi telah menjadi bahan primer untuk mayoritas masyarakat, khusus nya di Indonesia. Hingga istilah baru tanpa sadar muncul, "makan gak makan asal nonton TV". sangat tidak asing untuk kita jika ada seorang ibu yang sibuk ngobrol dengan tetangganya....

MAINKAN PERANMU UNTUK GENERASI SEKARANG JUGA !

Tak bisa di pungkiri bahwa pembentukan generasi mutlak di perlukan untuk setiap bangsa yang masing ingin terus bernafas, masih ngin terus berkembang , masih ingin terus maju dan produktif. Bangsa manapun butuh yang namanya Regenerasi, mustahil bangsa ini bisa berdiri kokoh 10. 20 atau 100 tahun lagi jika tidak memperhatikan kualitas dan kuantitas generasi mendatang nya. Menjadi salah satu syarat mutlah untuk sebuah bangsa melakukkan sebuah Regenerasi. Hari ini mereka anak usia 3-6 th, tapi 20 atau 30 th lagi mereka akan duduk di kursi-kursi penting di semua sudut negara ini.  Mereka yang akan menggantikan generasi tua, mereka yang akan menggantikan posisi Megawati, Amien Rais, Hidayat nur wahid, SBY, luhut, para wakil rakyat kita di DPR/MPR, pimpinan BI dan semua sisi penting bangsa ini.
Mereka yang akan menjadi tumpuan ratusan juta jiwa di negeri katulistiwa ini. Mereka yang akan membuat kebijakan politik, sosial, budaya, pertahanan/kemanan.  Mereka yang akan  bertanggung jawab untuk mempertahankan rangkaian pulau indonesia. Mereka yang akan membuat indonesia harum di mata dunia, mereka yang akan menjadi pewaris ilmu para Ulama. Mereka yang sekarang kita lihat berusia kurang dari 6 th.
Ibu, ayah, kakak, tante, oma, opa, dan sahabat. Sungguh tak bisa di bayangkan jika asupan gizi mereka kurang, asupan ruhiyah mereka tipis/hampir tidak ada. Tidak bisa di bayangkan apa yang akan terjadi 10. 20,atau 30 th lagi, jika lingkungan mereka mengkerdilkan potensi positif mereka dengan memupuk potensi negatif mereka dengan tujuan duniawi lingkungan.
Mungkin sudah waktunya bangsa ini tidak meremehkan sistem REGENERASI, dengan membentuk sistem yang baik hingga outputnya pun baik. Tentunya kita sangat tidak berharap output Regenerasi 30 th lagi adalah orang-orang yang lemah, lemah fisik (akal & tubuh) dan lemah Iman. Nauzubillah.
Oleh ratri_dewi (25)